Riz Maulana

Hujan Di Malang

  |   Reading time: 4 minute(s).


Belakangan ini Malang menjadi istimewa. Lebih istimewa dari biasanya. Bukan karena suatu hal yang luar biasa, tapi karena suatu hal yang sangat sederhana. Hujan. Hampir tiap saat pasti turun hujan di sini, baik deras maupun ringan. Durasinya pun seringkali lama. Namun hujan mengajariku banyak hal. Ia mengajarkan bahwa suatu kejatuhan dapat memiliki banyak hikmah.

Ia berusaha untuk meredam seluruh ego manusia, bahwa bukan hanya kepentingan manusialah yang utama di bumi ini, melainkan kepentingan makhluk lain pun turut diperhitungkan. Hujan dapat meninggalkan bekas dalam sanubari seseorang setelah tetesan terakhirnya menyentuh tanah. Hujan pun selalu mengajak orang untuk merenung, berpikir, dan merefleksikan diri. Masih ada banyak hal yang kita dapat dari hujan sebenarnya, tapi aku kira aku tak usah menulis semua itu. Toh, semua orang pasti memiliki pengalaman pribadi dengan hujan.

Aku menulis ini pada hari senin sekitar pukul 23.00, di sebuah kamar yang cukup berantakan di lantai dua sebuah kontrakan, setelah seharian berada di kampus dengan segala kegiatan. Aku berangkat ke kampus pukul 6.30, ditemani oleh gerimis kecil. Tak cukup deras. Rintikan airnya menempel di jaketku, membentuk banyak bulatan kecil yang bening. Bulatan itu berusaha untuk membasahi pakaianku, tapi tak cukup kuat bahkan untuk membuat sebuah bekas basahan kecil. Aku selalu suka mengusap bulatan itu. Pada saat aku pulang dari kampus pun, gerimis menyertaiku di perjalanan. Sedikit lebih deras dari tadi pagi. Aku tak bisa melihat bulatan-bulatan bening di jaketku karena hari sudah gelap. Tapi aku masih bisa merasakan banyak bulatan bening di jaketku dan aku mengusapnya. Saat aku menulis ini pun, gerimis kecil masih turun di luar sana. Suaranya lembut dan menenangkan. Rasanya sangat cocok untuk tidur dan melepaskan segala beban.

Tiga tahun hidup di Malang sepertinya aku saat ini baru menyadari bahwa ada hal yang tersembunyi di balik hujan yang turun di kota ini —paling tidak aku sekarang teringat lalu menuliskannya di sini—bahwa hujan di Malang itu istimewa. Atau menimbulkan suasana istimewa paling tidak. Aku tak tahu apakah hujan di Malang memang romantis atau apakah memang orang-orang di sini punya kemampuan khusus untuk bisa melihat sebuah keromantisan dari hujan. Dan aku pun tak tahu dari kedua hal tersebut apakah hal yang sama saja atau tidak. Tapi, yang jelas, karena aku bukan orang yang romantis, jadi kemampuanku untuk melihat keromantisan dalam hujan masih lemah dan aku lebih mempercayai “mitos” bahwa hujan di Malang memang romantis. Lagipula, selama di Malang, aku pun single jadi aku belum merasakan sendiri secara lebih keromantisan hujan Malang (deuh!). Hujan di Malang lembut dan menenangkan, sederas apapun air yang turun dan sekeras apapun guntur yang menggelegar. Dan tak lupa juga, ia pun menyejukkan. Cukup berbeda dengan di kotaku sendiri, Purbalingga. Aku merasa hujan di sana kering, kejam, dingin seperti tatapan seorang gadis yang tak ingin diganggu, dan selalu membuat orang terburu-buru. Di Malang pun kadang hujan membuatku terburu-buru, tapi tak sering aku kira. Mungkin karena keadaan geografis yang berbeda membuat nuansa hujannya berbeda. Bogor sebagai kota dengan predikat kota hujan pun sampai saat ini aku belum bisa merasakan secara penuh nuansa khas hujan di sana. Sederhana alasannya, karena aku belum pernah tinggal lama di sana. Tapi tetap ada sesuatu yang istimewa bagiku dari hujan di kota-kota tersebut.

Judul tulisan ini—Hujan Di Malang—terinspirasi oleh sebuah judul lagu bagus dari band Banda Neira, Hujan Di Mimpi. Aku sengaja mengganti kata Mimpi menjadi kata Malang, karena bagiku kedua kata itu sama artinya. Sebuah sinonim. Malang adalah sebuah mimpi, sebuah impian, sebuah harapan, sekaligus sebuah kenyataan. Realita. Tempatku untuk meletakkan seluruh mimpi besar dan mimpi kecilku saat ini, seperti induk burung yang meletakkan telur-telur di sarangnya. Kemudian telur-telur itu dierami sampai menetas dan keluar anak-anak burung kecil dan lugu. Kurang lebih seperti itulah proses dari menggapai mimpi. Aku belajar banyak dari kota ini. Dari orang-orangnya. Dari pepohonannya. Dari keramahannya. Dari kesejukkannya. Dari suasana kotanya. Dan, yang jelas, dari hujannya. Memang ada banyak hal yang aku tidak suka dari kota ini: lalu lintasnya, trotoarnya, tukang parkirnya, suasana kampus, dll. Namun, sepertinya aku bisa memastikan, sebanyak apapun hal yang aku tidak suka, akan lebih banyak hal yang aku suka dari kota ini.

Aku sadar suatu saat nanti–paling tidak satu tahun lagi–aku akan pergi meninggalkan kota ini, entah itu dekat atau jauh sampai ratusan atau bahkan ribuan kilometer jauhnya. Aku tak tahu apakah suatu saat nanti aku bisa kembali lagi ke kota ini, merasakan lagi hujannya yang romantis. Yah, mungkin, kalau aku ditakdirkan untuk bekerja di sini atau bahkan beristri orang sini sudah pasti aku akan kembali ke kota ini. Namun, saat aku pergi nanti, aku pastinya akan merindukan sesuatu yang istimewa di kota ini. Hujan.

#Hujan #Malang