Tentang Ujian 'Open Book'
  |   Reading time: 4 minute(s).
Selasa, 3 Januari 2017 pukul 7.30, saya ada ujian akhir mata kuliah Rekayasa Sistem Komputer (RSK). Saya telat masuk ke ruang ujian, mungkin tiga sampai lima menit. Begitu masuk ke ruangan, dua orang pengawas sedang membagikan soal dan lembar jawab. Karena telat, meja yang masih kosong hanya di barisan depan. Barisan tengah dan sudah belakang penuh. Mungkin ada satu atau dua yang masih kosong, tapi saya tidak memperhatikan. Saya lalu menempati meja paling depan, mengeluarkan pensil, pulpen, KTM, dan buku catatan saya karena sifat ujian yang open book. Pengawas yang kebetulan sedang di dekat saya langsung berkata, “Mas, yang diperbolehkan hanya fotokopi slide materi”. Saya agak kaget karena saat ujian tengah semester kemarin saya membawa buku catatan dan tidak ada masalah. Tanpa merespon si pengawas, saya langsung masukkan lagi buku catatan saya ke dalam tas. Saya tidak punya fotokopi slide materi, dan tidak ada niat sebelumnya untuk mem-fotokopi materi yang hanya berguna satu kali itu saja pada saat ujian. Si pengawas yang tadinya tidak membolehkan buku catatan saya langsung berinisiatif menghubungi dosen pengampu apakah boleh membuka buku catatan. Padahal di lembar soal sudah tertera keterangan “Sifat Ujian: Open Book/Slide Materi”. Mungkin si pengawas, karena melihat teman kelas saya banyak yang membawa fotokopi slide materi, menganggap bahwa buku catatan tidak termasuk. Beberapa saat kemudian si pengawas mendapat konfirmasi kalau buku catatan diperbolehkan, tetapi saya tidak mengambil lagi buku catatan saya. Toh, catatan saya tidak lengkap dan rasanya tidak akan membantu saat ujian. Jadi, saya biarkan saja buku catatan saya di dalam tas.
Mata kuliah RSK adalah mata kuliah yang berisi tentang konsep-konsep yang cukup abstrak tentang pengembangan suatu sistem komputer. Mulai dari konsep Socio-Technical System, Sistem Kritis, Rekayasa Kebutuhan, Model Sistem, Arsitektur Aplikasi, dll. Kelihatannya istilah-istilah itu keren, tapi, yakinlah, semua pembahasannya cukup abstrak. Tidak ada hitung-hitungan, tidak ada ngoding, semua hanya konsep dan membutuhkan kemampuan memahami dan menghafal yang bagus (Karena itulah, mungkin, ujian tengah semester dan ujian akhir bersifat open book). Dan harus saya akui, mata kuliah ini termasuk mata kuliah yang membosankan. Mata kuliahnya yang membosankan, bukan dosennya (Piss, Pak Sabri). Setiap kali masuk kelas, saya berusaha keras memaksa diri untuk mencatat materi. Kira-kira dua puluh menit awal masih kuat untuk mencatat, dan setelah itu biasanya saya sudah tidak tahu harus mencatat apa lagi dan lebih sering mendengarkan dosen sampai kelas selesai. Akhirnya, catatan saya pun tidak lengkap dan sama sekali tidak jelas karena tidak runtut.
Kembali ke ruang ujian. Saya akhirnya mengerjakan soal multiple choice tersebut tanpa bantuan buku atau materi seperti yang diperbolehkan, dan berusaha mengingat lagi materi yang sudah saya pelajari selama perkuliahan. Suara gesekan kertas berulang kali terdengar di seluruh penjuru ruangan. Suara dari kertas fotokopi slide materi yang berulang kali dibuka atau ditutup halamannya untuk mencari jawaban dari suatu soal. Saat mengerjakan soal, dengan suara gesekan kertas di segala penjuru, tiba-tiba muncul sebuah pertanyaan di kepala saya, “Ini ujian?”. Maksud saya, apakah ini benar-benar sebuah ujian di mana kita membaca sebuah soal lalu mencari jawabannya langsung dari tumpukan kertas materi yang sudah diperbolehkan sebelumnya? Saya rasa pekerjaan seperti itu hanya pekerjaan mencocokkan saja. Mencocokkan soal dengan jawaban yang sudah tersedia. Kurang tepat kalau disebut sebuah ujian akhir, apalagi untuk mahasiswa. Ibaratnya, kita diberi kayu dengan lubang berbentuk huruf A dan kita hanya disuruh untuk mencari bentuk yang pas di antara tumpukan huruf kayu dari A sampai Z yang sudah tersedia. Tanpa bermaksud merendahkan, tapi, bukankah hal seperti itu lebih cocok untuk anak-anak? Apakah tidak ada metode lain yang lebih tepat untuk menguji pemahaman mahasiswa terhadap suatu materi? Pertanyaan seputar itu bermunculan saat sedang mengerjakan soal. Bagi saya, ujian mata kuliah seperti RSK ini memang tidak masalah kalau bersifat open book. Tapi, apa harus segitunya? Masih mending kalau bentuk soal adalah essay dan mahasiswa dibolehkan membuka materi atau buku catatan masing-masing. Masih ada proses berpikir untuk menyusun jawaban yang tepat untuk sebuah soal.
Tulisan ini bukan sebuah gerutuan atau keluh kesah saya karena mengerjakan soal tanpa bantuan materi. Harus diakui bahwa soal-soal yang saya kerjakan memang cukup susah kalau tanpa bantuan buku atau materi. Tapi, toh, saya kerjakan saja semua soal dan tidak peduli berapapun nanti hasilnya. Tulisan saya ini tidak bermaksud apapun kecuali untuk mengajak bersama memikirkan dan merenungkan kembali sifat ujian open book seperti di atas. Tepatkah ujian seperti yang sedikit saya jelaskan diterapkan? Ada efek yang saya khawatirkan akan muncul apabila ujian open book seperti itu diterapkan terus-menerus, yaitu membuat seorang pelajar cenderung meremehkan apa yang ia pelajari. Ia bisa saja berpikir, “Buat apa saya belajar? Toh nanti di ujian boleh buka materi”. Lalu, kalau sudah seperti itu, apa gunanya masuk kelas selain dari tercatat di presensi?