Habis Ini Mau Ke Mana?
  |   Reading time: 4 minute(s).
Hai.
Ya, saya masih hidup.
Saya merasa sangat beruntung tinggal di Taiwan di tengah kondisi pandemi ini. Negara ini handal dalam menangani penyebaran virus. Masyarakat di sini pun cukup sadar akan bahayanya sehingga mereka berusaha untuk tidak tertular dan tidak menulari orang lain. Hal lain yang membuat saya merasa beruntung adalah Taiwan itu pilian terakhir saya pada saat mencoba mendaftar kuliah ke luar negeri. Penolakan-penolakan dari beberapa kampus yang saya daftar membawa saya ke sini. Saya tidak menyangka dengan keputusan saya untuk memilih kuliah di pilihan terakhir ini justru membawa saya ke salah satu tempat teraman di tengah pandemi ini. Saya berangkat ke sini 4 bulan sebelum Covid-19 mulai merebak di Tiongkok. Jadi, saya cukup bejo.
Meskipun begitu, seringkali saya agak susah menerima kebejoan saya karena beberapa hal yang membuat saya kurang betah.
Yang pertama adalah masalah bahasa. Semua orang di sini berkomunikasi dengan Mandarin (dengan aksara tradisional yang lebih kompleks dibandingkan aksara di Tiongkok). Saya sudah beberapa tahun belajar Mandarin, tapi kemampuan saya tidak cukup untuk berdiskusi atau mengikuti perkuliahan menggunakan Mandarin. Jadi, larinya ke bahasa Inggris. Kemampuan bahasa Inggris orang Taiwan (terutama generasi mudanya) untuk berkomunikasi sehari-hari cukup baik, tapi untuk diskusi akademik agak susah. Saya yakin orang sini pintar-pintar, tapi untuk mengutarakan pendapat (terutama di lingkungan akademik) menggunakan bahasa Inggris mereka belum terbiasa. Belum lagi ditambah sebagian orang Taiwan itu cukup pemalu. Jadinya, selama 3 semester belakangan ini saya merasa kehidupan akademik saya cukup hampa. Tidak banyak diskusi. Seringkali saya belajar dan berusaha mencari tahu semuanya sendiri. Sering saya merasa stres (kalau ada labmate saya yang membaca ini: yes, this is what I feel). Saya sadar bahwa saya yang seharusnya belajar Mandarin agar dapat berkomunikasi dengan teman-teman lokal. Sudah saya coba ngobrol dengan teman-teman saya pakai mandarin, tapi seringkali berujung dengan kalimat “我聽不懂”. Kemampuan Mandarin saya setelah belajar bertahun-tahun seakan-akan jalan di tempat. Dan ini seringkali membuat saya frustasi.
Hal kedua yang membuat saya kurang betah berkaitan dengan topik studi. Mayoritas orang sini sangat getol dengan Artificial Intelligence (AI) dan Machine Learning (ML). Hype-nya tinggi banget. Mereka pun jago-jago urusan AI/ML ini. Banyak sekali topik-topik penelitian di sini yang berkaitan dengan AI/ML. Seolah-olah semua masalah dapat diselesaikan dengan AI/ML (saya setuju AI/ML cukup penting dan dapat menyelesaikan banyak masalah). Kalau ada yang tertarik dengan topik yang tidak bisa dihubungkan dengan AI/ML, orang tersebut kelihatan seperti golongan paria. Kondisi ini cukup bisa dipahami kalau mengingat negara ini sangat bergantung dengan industri teknologinya yang sudah maju. AI/ML cukup penting untuk menjaga “industrial competitiveness” Taiwan. Saya sadar ini tidak hanya terjadi di Taiwan. Dan kemajuan industri Taiwan juga berkaitan dengan kedaulatan negara. Jadi, jangan heran kalau pemerintah di sini sangat mendukung program penelitian dan edukasi yang berkaitan dengan AI/ML. Yang jadi masalah sekarang adalah… bagaimana jadinya kalau ada orang yang tidak tertarik untuk fokus di bidang AI/ML ini (seperti saya sendiri)? Yah… kalau masih ingin tinggal dan berkarir di sini ya harus mulai mendalami AI/ML. Kalau masih ngotot untuk studi bidang lain ya… mau tidak mau harus cari peluang di negara lain.
Hal-hal tersebut yang membuat saya ingin pindah ke negara lain meskipun saya sadar saya sedang berada di negara teraman untuk ditinggali saat ini. Tapi jangan salah. Terlepas dari dua hal di atas, saya cukup senang tinggal di sini. Masyarakatnya sangat bebas, makanannya enak-enak (sejauh ini, kebebasan dan makanan ini yang benar-benar bikin saya betah), harga ini-itu tidak terlalu tinggi, transportasinya sangat bisa diandalkan, dll.
Memasuki 2021 ini, kuliah saya masih tersisa 1 semester. Di semester terakhir ini (yang akan dimulai Februari/Maret 2021) saya akan fokus untuk menulis tesis agar bisa lulus. Namun, saya belum tahu masalah apa yang ingin saya pecahkan. Topik yang ingin saya angkat pun saya belum yakin harus yang mana. Rencana setelah lulus pun masih tidak jelas. Awalnya saya ingin lanjut studi S3 setelah lulus, tapi sepertinya saya harus pikir-pikir lagi. Kalau saya ingin pindah ke negara lain (untuk tujuan apapun), ada kemungkinan saya harus pulang ke Indonesia dulu untuk mengurus administrasi (dan juga karena timeline yang tidak memungkinkan untuk berangkat dari sini). Ini cukup beresiko dan saya sebisa mungkin menghindari opsi pulang selama masih belum aman. Setelah sampai di Indonesia pun ada peluang ditolak masuk oleh negara lain saat berangkat atau ditunda keberangkatannya. Pandemi ini benar-benar membawa ketidakpastian dan ketidakjelasan. Saya hanya bisa berharap saya sehat-sehat saja (terutama mental) di tahun ini.
Anyway, selamat tahun baru. Semoga kamu juga sehat-sehat tahun ini.
RM.