Hidup Cuma Sekali
  |   Reading time: 4 minute(s).
Kita tahu di dunia ini ada banyak sekali pepatah atau ungkapan-ungkapan yang sejenisnya. Kebanyakan dari ungkapan-ungkapan ini cuma “lalu-lalang” di kehidupan kita. Artinya cuma masuk kuping kanan, keluar kuping kiri. Sebagian bisa dijadikan sebagai pedoman hidup, tapi harus melewati proses internalisasi atau penghayatan agar bisa benar-benar tertanam di dalam diri. Proses internalisasi ini seringkali sangat sulit dan butuh waktu yang lama serta contoh pengalaman nyata agar bisa dihayati. Salah satu ungkapan yang cukup berhasil saya hayati adalah “hidup cuma sekali”.
Ungkapan “hidup cuma sekali” ini menurut saya punya dua tafsiran atau interpretasi yang berbeda: hedonistik dan religius. Tafsiran hedonistik ini sering kita temui dengan istilah “You only live once (YOLO)”, “Carpe diem”, atau “Seize the day”. Artinya, karena hidup ini cuma satu kali, kita harus menjalani hidup ini sepenuhnya, mencoba semua pengalaman materiel yang ditawarkan di dunia ini. Sisi ekstrem dari tafsiran ini adalah hidup sebebasnya tanpa memandang konsekuensi dari tiap keputusan yang kita ambil karena setelah ini kita tidak akan punya kesempatan lagi. Bisa dibilang, dunia yang sedang kita tinggali adalah surga satu-satunya.
Yang kedua, tafsiran religius, sesuai namanya, seringkali dianut oleh mereka yang taat beragama. Karena kepercayaan adanya kehidupan kedua di (hampir?) semua agama, sudah sepatutnya hidup di dunia sekarang ini kita manfaatkan untuk membekali diri kita di kehidupan kedua. Dalam hal ini, meskipun secara teknis kita akan mengalami dua kehidupan, dunia ini adalah satu-satunya kesempatan untuk memantaskan diri karena setelah mati hanya ada dua kemungkinan: masuk surga atau masuk neraka. Mereka yang pantas dijanjikan masuk surga dengan segala kenikmatannya, dan mereka yang tidak pantas dijanjikan masuk neraka dengan segala siksaannya. Alhasil, kalau dibandingkan dengan tafsiran hedonistik, orang yang taat beragama lebih berhati-hati dalam menjalani hidup. Sisi ekstrem dari tafsiran ini adalah hidup mengisolasi diri untuk sembahyang kepada sang pencipta dunia agar nanti bisa masuk ke surga.
Lalu, dari dua tafsiran di atas, mana yang saya hayati? Saya tidak bisa memilih dua hal di atas layaknya memilih hitam atau putih. Mungkin lebih tepat kalau kita pakai spektrum atau skala. Kalau misalkan kita buat skala 0-10, di mana 0 sangat religius dan 10 sangat hedonistik, saya kurang lebih ada di skala 6. Artinya apa? Saya percaya hidup ini benar-benar hanya satu kali, tapi saya tidak ingin menghabiskannya secara sembrono dan akhirnya cepat mati. Karena hidup cuma sekali, saya ingin hidup sampai tua dan merasakan berbagai macam pengalaman hidup secara perlahan. Bisa dibilang cita-cita saya sekarang ini adalah mati tenang dikelilingi oleh keluarga di hari tua. Lalu, apa yang terjadi setelah mati? Yaa… tidak ada apa-apa. Tubuh kita akan membusuk dan kembali lagi ke tanah. Saya jadi ingat omongan Iggy Cygnus di Blade Runner - Black out 2022: “No heaven or hell for us. This world is all we’ve got”. Kalaupun surga itu ada, maka dunia inilah surga itu, dengan segala nikmat dan derita yang tiap hari ada. Selain itu, ungkapan “hidup cuma sekali” ini membuat saya sadar kalau garis pemisah hidup-mati ini sangatlah tipis dan saya bisa mati kapan saja, jadi saya ingin hidup secara hati-hati dan tidak ingin cepat-cepat meninggalkan surga ini.
Dampak dari skala 6 ini yang paling terasa adalah saya merasa lebih bebas. Saya tidak takut dengan hal-hal yang dianggap tabu atau terlarang bagi kebanyakan orang. Namun, saya cukup rasional, tahu batasan, dan bisa mengontrol diri agar tidak ceroboh. Selain itu, entah kenapa, hidup ini terasa sedikit lebih longgar/enteng karena tiba-tiba pilihan hidup jadi lebih terbuka (meskipun banyaknya pilihan ini juga sering membuat saya kewalahan). Saya tidak takut kalau keputusan saya saat ini ternyata tidak terlalu bagus, karena masih ada opsi-opsi lain yang bisa diambil nanti. Dampak yang tidak terlalu mengenakkan mungkin rasa cemas yang sering datang. Tapi sepertinya saya tidak ingin membahasnya saat ini.
Sebagai penutup, saya sadar sepenuhnya kalau tulisan ini cukup beresiko dan bisa membuat sebagian orang “ilfeel”. Ada alasan kenapa sampai sekarang saya masih lajang. Saya sadar pandangan hidup saya susah diterima banyak orang dan lebih memilih hidup sendiri daripada merepotkan orang lain. Tapi sepertinya saya perlu sesekali mengutarakan pandangan saya. Kenapa saya seperti sekarang ini mungkin bisa dicek di tulisan-tulisan saya sebelumnya. Bagi orang-orang yang dekat dengan saya mungkin agak bingung kenapa saya punya pandangan ini tapi di kehidupan nyata hidup saya cukup membosankan. Ya, memang sengaja, lingkungan tidak terlalu sesuai. Semoga dari tulisan ini kalian jadi lebih paham orang seperti apa saya ini.
RM