Riz Maulana

Selepas Satu Bulan

  |   Reading time: 3 minute(s).


Sudah satu bulan lebih saya tinggal di Belanda dan saya ingin menulis beberapa kesan yang masih menempel sejak pertama sampai.

Saya terbang di hari Natal 2023. Suhu di Soekarno-Hatta saat itu di kisaran 26-28°C. 15 jam kemudian temperatur menjadi 10-12°C di Amsterdam. Masih bisa tahan. Tapi begitu sampai di Eindhoven sekitar jam 3an sore, cuaca memburuk menjadi gerimis dan berangin. Saya masih harus berjalan 2 km dari stasiun ke apartemen. Sendirian, gerimis, di jalan yang cukup sepi, sambil memastikan barang bawaan tidak basah kuyup karena payung yang saya bawa tidak terlalu lebar. Ditambah dengan perut yang sangat tidak enak karena 2 jam sebelum landing saya dengan bodohnya makan roti isi keju padahal saya lactose intolerant. Betapa bahagianya saat saya sampai di kompleks apartemen. Sayangnya kebahagiaan itu hanya sesaat karena ternyata apartemennya ada di lantai 4 dan satu-satunya akses naik adalah lewat tangga besi di luar gedung tanpa penutup. Jadi saya harus angkat koper besar sambil pegang payung. Sialan. Untungnya apartemen saya cukup lengkap dan tidak mengecewakan, paling tidak saya bisa istirahat secara nyaman.

Saya datang ke Belanda dengan ekspektasi tinggal di negara yang penduduknya kasar dan asal ceplos. Selain itu di pesawat saya dapat nasihat dari penumpang sebelah untuk berhati-hati karena orang Belanda arogan. Namun, sejauh ini, yang saya lihat adalah kebalikannya. Ternyata orang sini ramah-ramah (paling tidak untuk standar saya). Saya sering disapa oleh orang asing sampai sering merasa kikuk. Selain itu kolega saya juga sangat ramah, sering saling menanyakan kabar (saya sadar itu cuma basa-basi, but it’s a nice gesture). Karena tidak terbiasa, malah sering saya merasa saya yang tidak ramah atau tidak sopan ke orang lain. Jujur saja, saat saya bertemu orang asing, saya pastikan apakah ada potensi “saling sapa” dulu. Kalau memang tidak ada, maka saya sering tidak menghiraukan dan bahkan buang muka. Bukan karena benci atau tidak suka, tapi lebih karena saya tidak ingin mengganggu. Dan itu yang sering terjadi selama saya tinggal di Jakarta dan Taiwan. Tinggal di sini mengharuskan saya belajar untuk acuh kepada orang lain dan basa-basi lagi.

Yang terakhir, ada satu anjuran tak tertulis terkait pejalan kaki yang bagi saya agak aneh. Di Belanda, pesepeda sangat diprioritaskan sampai dibuatkan jalur khusus sepeda (fietspad) di mana-mana. Pejalan kaki boleh berjalan di fietspad saat tidak ada trotoar, tapi dengan satu catatan: sangat dianjurkan untuk berjalan melawan arus pesepeda (bukan di tengah jalan tentunya, tapi di pinggir). Di sini, arus lalu lintas memakai lajur kanan, jadi di fietspad saya harus berjalan di lajur kiri. Pertama kali mengikuti aturan ini rasanya tidak nyaman karena rasanya menghalangi arus dan mau ditabrak sampai harus minggir ke luar fietspad. Tapi saya berlebihan karena para pesepeda akan menghindar jika melihat ada pedestrian di depannya. Alasan dari aturan ini katanya karena pejalan kaki lebih mudah menghadapi arus di hadapannya daripada di belakangnya. Awalnya kedengaran aneh, tapi setelah melihat banyaknya pesepeda di sini dan kecepatan mereka di jalan jadi paham. Potensi terserempet sepeda kalau berjalan searah sangat tinggi. Apalagi kalau kita melakukan gerakan-gerakan aneh yang mengagetkan pesepeda di belakang.

Sebenarnya masih ada kesan-kesan lain yang ingin tulis, tapi saya tak ingin tulisan ini jadi terlalu panjang. So… tot ziens!!

RM

#Pengalaman #tulisan-bebas